Bandung – Wilayah Cekungan Bandung dipahami sebagai bekas danau purba pada masa lampau. Salah satu buktinya adalah endapan lumpur yang dilaporkan pernah menyembul ke daratan di Kecamatan Margahayu, Bandung. bandarcerutu4d.com
Hal tersebut disampaikan Dr. Dasapta Erwin Irawan, pakar hidrogeologi dari Kelompok Keahlian Geologi Terapan ITB. Endapan lumpur itu keluar saat pengeboran air tanah di kedalaman 30 meter.
BACA JUGA: Buruh di Jabar Minta Ketemu PJ Gubernur, Desak Terbitkan Kepgub Upahbandarcerutu4d.com
“Kemarin kita digegerkan dengan pengeboran air tanah di Kecamatan Margahayu. Kedalamannya sudah menembus 30 meter, tetapi justru lumpur hitam berbau anyir dan lembek yang didapati, tidak berhasil menyentuh tanah keras,” kata Erwin pada laman ITB, Selasa, 19 Maret 2024.
Dia mengatakan, endapan lumpur itu diperkirakan berusia ribuan bahkan ratusan ribu tahun.
“Itu adalah bukti nyata endapan danau purba, butirannya sangat halus dan minim kandungan pasir. Endapan ini usianya sekitar 135.000–20.000 tahun yang lalu, dalam skala waktu geologi masih tergolong muda. Secara alamiah, endapan yang lunak rentan mengalami subsidens,” katanya.
Cekungan Bandung diketahui seperti sebuah mangkuk yang dipagari oleh gunung di segala penjuru. Di sebelah utara ada Gunung Burangrang dan Gunung Tangkuban Parahu. Di sisi timur menjulang Gunung Manglayang.
Di bagian selatan terdapat Gunung Papandayan, Gunung Malabar, dan Gunung Patuha. Semuanya adalah gunung vulkanik. Sementara di wilayah barat, yang cukup unik, terdapat kawasan Rajamandala yang tersusun dari batuan karst.bandarcerutu4d.com
Dataran Bandung, lanjut Erwin, mulanya merupakan danau purba. Dasar danau itu dulunya berada di elevasi 650 mdpl. Akibat aktivitas vulkanik oleh berbagai gunung api di sekitarnya, danau itu surut, berubah menjadi dataran aluvial yang terdiri atas pasir dan lempung lunak yang subur. Material itu berasal dari erosi endapan gunung api dan sungai.
* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Tantangan Arsitektur Lanskap
Lebih lanjut Erwin menyampaikan bahwa kondisi Cekungan Bandung menjadi tantangan bagi arsitektur. Pembangunan di Bandung mesti mempertimbangkan kondisi geologisnya.
“Sering kita hanya memperhatikan kondisi permukaan, tidak melihat apa yang ada di bawah tanah. Padahal, air tanah di setiap tempat tidak otomatis ada dan tidak selalu sama dengan daerah sekelilingnya,” ujarnya.
Jika terjadi gempa, katanya, datarannya akan berubah seperti bubur yang suatu waktu bisa tumpah atau terjadi likuefaksi. Lapisan akuifer akan bercampur dengan lapisan lain, termasuk lempung yang berwarna hijau.
Akibatnya, air tanah menjadi keruh atau bahkan mengering. Guncangan pada dataran lunak ini juga akan mengamplifikasi magnitudo gempa.
“Ini adalah tantangan besar untuk para perencana lanskap. Keindahan rancangan memang diutamakan, tapi tidak boleh mengabaikan risiko dan bencana yang membayangi. Setiap bentang alam tentu memiliki bentuk unik dan khusus, yang pasti ada kaitannya dengan sesuatu di balik permukaan tanahnya,” katanya.
“Oleh karena itu, diperlukan dukungan data primer yang rinci dan perspektif multidisiplin untuk mengurai permasalahan lanskap. Melihat cerita kegagalan pembangunan di masa lalu juga penting agar perancang lansap tidak mengulangi kesalahan yang sama,” tandas Erwin.